Waktu aqiqah menurut imam syafi’i, kajiah fiqih aqiqah madzab imam syafi’i

menurut imam syafi’i jika aqiqah yang ditunda itu hingga anak usia baligh, hukumnya gugur bagi wali anak, untuk melakukan aqiqah. Namun bagi anak itu sendiri, maka diperkenankan untuk melakukan aqiqah untuk dirinya sendiri ataupun tidak melakukannya juga tidak apa-apa

kajian aqiqah menurut imam syafi'i i imam madzhab
kajian aqiqah menurut syafi’i imam madzhab

Bagaimana pembahasan AQIQAH menurut keterangan fiqih madzab menurut imam syafi’i?

(dikutip dari Kitab fiqih Fathul Qorib)

(Fasal) menyatakan hukum-hukum aqiqah.

‏( ﻓَﺼْﻞٌ ‏) ﻓِﻲْ ﺑَﻴَﺎﻥِ ﺃَﺣْﻜَﺎﻡِ ‏( ﺍﻟْﻌَﻘِﻴْﻘَﺔِ ‏)

Aqiqah secara bahasa ialah nama rambut yang sedang di atas kepala anak yang dilahirkan.

ﻭَﻫِﻲَ ﻟُﻐَﺔً ﺍﺳْﻢٌ ﻟِﻠﺸَّﻌْﺮِ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺃْﺱِ ﺍﻟْﻤَﻮْﻟُﻮْﺩِ

Dan secara syara’ akan diterangkan oleh mushannif dengan ucapan beliau, “aqiqah untuk anak yang dilahirkan disunnahkan.”

ﻭَﺷَﺮْﻋًﺎ ﻣَﺎ ﺳَﻴَﺬْﻛُﺮُﻩُ ﺍﻟْﻤُﺼَﻨِّﻒُ ﺑِﻘَﻮْﻟِﻪِ ‏( ﻭَﺍﻟْﻌَﻘِﻴْﻘَﺔُ ‏) ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤَﻮْﻟُﻮْﺩِ ‏( ﻣُﺴْﺘَﺤَﺒَّﺔٌ ‏)

Mushannif mentafsiri aqiqah dengan ucapan beliau, “aqiqah ialah binatang yang disembelih karena bayi yang dilahirkan pada hari ketujuh bayi tersebut, maksudnya pada hari ketujuh kelahirannya.

ﻭَﻓَﺴَّﺮَ ﺍﻟْﻤُﺼَﻨِّﻒُ ﺍﻟْﻌَﻘِﻴْﻘَﺔَ ﺑِﻘَﻮْﻟِﻪِ ‏( ﻭَﻫِﻲَ ﺍﻟﺬَّﺑِﻴْﺤَﺔُ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤَﻮْﻟُﻮْﺩِ ﻳَﻮْﻡَ ﺳَﺎﺑِﻌِﻪِ ‏) ﺃَﻱْ ﻳَﻮْﻡَ ﺳَﺎﺑِﻊِ ﻭِﻟَﺎﺩَﺗِﻪِ

Hari ketika kelahirannya tergolong dalam hitungan tujuh hari tersebut. -kesunnahan tetap berlaku- Walaupun bayi yang telah dilahirkan itu meninggal dunia sebelum hari ketujuh.

ﻭَﻳُﺤْﺴَﺐُ ﻳَﻮْﻡُ ﺍﻟْﻮِﻟَﺎﺩَﺓِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴَّﺒْﻊِ ﻭَﻟَﻮْ ﻣَﺎﺕَ ﺍﻟْﻤَﻮْﻟُﻮْﺩُ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟﺴَّﺎﺑِﻊِ

Kesunnahan aqiqah tidak hilang karena ditunda sampai melewati hari ketujuh.

ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻔُﻮْﺕُ ﺑِﺎﻟﺘَّﺄْﺧِﻴْﺮِ ﺑَﻌْﺪَﻩُ

Namun, andai aqiqah ditundah sampai anak itu baligh, maka hukum aqiqah gugur untuk orang yang mengerjakan aqiqah dari anak tersebut.

ﻓَﺈِﻥْ ﺗَﺄَﺧَّﺮَﺕْ ﻟِﻠْﺒُﻠُﻮْﻍِ ﺳَﻘَﻂَ ﺣُﻜْﻤُﻬَﺎ ﻓِﻲْ ﺣَﻖِّ ﺍﻟْﻌَﺎﻕِ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤَﻮْﻟُﻮْﺩِ

Sedangkan untuk anak tersebut sendiri, maka diperkenankan untuk mengerjakan aqiqah untuk dirinya sendiri ataupun tidak melakukannya.

ﺃَﻣَّﺎ ﻫُﻮَ ﻓَﻤُﺨَﻴَّﺮٌ ﻓِﻲْ ﺍﻟْﻌَﻖِّ ﻋَﻦْ ﻧَﻔْﺴِﻪِ ﻭَﺍﻟﺘَّﺮْﻙِ

Disunnahkan menyembelih dua ekor domba sebagai aqiqah untuk anak laki-laki, dan menyembelih satu ekor domba untuk anak perempuan.

‏( ﻭَﻳُﺬْﺑَﺢُ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻐُﻠَﺎﻡِ ﺷَﺎﺗَﺎﻥِ ﻭَ ‏) ﻳُﺬْﺑَﺢُ ‏( ﻋَﻦِ ﺍﻟْﺠَﺎﺭِﻳَّﺔِ ﺷَﺎﺓٌ ‏)

Sebagian ulama’ berkata, “adapun anak khuntsa, maka masih ihtimal / dimungkinkan diserupakan dengan anak laki-laki atau dengan anak perempuan.”

ﻗَﺎﻝَ ﺑَﻌْﻀُﻬُﻢْ ﺃَﻣَّﺎ ﺍﻟْﺨُﻨْﺜَﻰ ﻓَﻴَﺤْﺘَﻤِﻞُ ﺇِﻟْﺤَﺎﻗُﻪُ ﺑِﺎﻟْﻐُﻠَﺎﻡِ ﺃَﻭْ ﺑِﺎﻟْﺠَﺎﺭِﻳَّﺔِ

Namun, seandainya lantas jelas kelamin prianya, maka disunnahkan untuk menambahi kekurangannya.

ﻓَﻠَﻮْ ﺑَﺎﻧَﺖْ ﺫُﻛُﻮْﺭَﺗُﻪُ ﺃُﻣِﺮَ ﺑِﺎﻟﺘَّﺪَﺍﺭُﻙِ

Aqiqah menjadi berlipat ganda karena berlipat gandanya anak.

ﻭَﺗَﺘَﻌَﺪَّﺩُ ﺍﻟْﻌَﻘِﻴْﻘَﺔُ ﺑِﺘَﻌَﺪُّﺩِ ﺍﻟْﺄَﻭْﻟَﺎﺩِ

bagaimana Proses Aqiqah menurut imam syafi’i?

Bagi orang yang mengemban aqiqah, maka mesti memberi santap kaum faqir dan kaum miskin.

‏( ﻭَﻳُﻄْﻌِﻢُ ‏) ﺍﻟْﻌَﺎﻕَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌَﻘِﻴْﻘَﺔِ ‏( ﺍﻟْﻔُﻘَﺮَﺍﺀَ ﻭَﺍﻟْﻤَﺴَﺎﻛِﻴْﻦَ ‏)

Ia memasak aqiqah itu dengan bumbu manis dan memberikannya sebagai hadiah pada orang-orang faqir dan orang-orang miskin. Dan hendaknya tidak menjadikan aqiqah sebagai acara undangan. Dan hendaknya tidak memecahkan tulang-tulangnya.

ﻓَﻴَﻄْﺒَﺤُﻬَﺎ ﺑِﺤُﻠْﻮٍ ﻭَﻳُﻬْﺪِﻱْ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻟِﻠْﻔُﻘَﺮَﺍﺀِ ﻭَﺍﻟْﻤَﺴَﺎﻛِﻴْﻦِ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺘَّﺨِﺬُﻫَﺎ ﺩَﻋْﻮَﺓً ﻭَﻟَﺎ ﻳُﻜْﺴَﺮُ ﻋَﻈْﻤُﻬَﺎ

Ketahuilah bahwasannya usia hewan aqiqah, selamat dari cacat yang dapat mengurangi daging, memakannya, mensedekahkan sebagiannya, jangan menjualnya dan menjadi wajib karena nadzar, hukumnya ialah sesuai dengan hukum yang telah diterangkan di dalam permasalahan hewan kurban.

ﻭَﺍﻋْﻠَﻢْ ﺃَﻥَّ ﺳِﻦَّ ﺍﻟْﻌَﻘِﻴْﻘَﺔِ ﻭَﺳَﻠَﺎﻣَﺘَﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﻋَﻴْﺐٍ ﻳُﻨْﻘِﺺُ ﻟَﺤْﻤَﻬَﺎ ﻭَﺍﻟْﺄَﻛْﻞَ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻭَﺍﻟﺘَّﺼَﺪُّﻕَ ﺑِﺒَﻌْﻀِﻬَﺎ ﻭَﺍﻣْﺘِﻨَﺎﻉَ ﺑَﻴْﻌِﻬَﺎ ﻭَﺗَﻌَﻴُّﻨَﻬَﺎ ﺑِﺎﻟﻨَّﺬَﺭِ ﺣُﻜْﻤُﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﺳَﺒَﻖَ ﻓِﻲْ ﺍﻟْﺄُﺿْﺤِﻴَّﺔِ

bagaimana cara melakukan Adzan, dan memberikan Nama anak?

Disunnahkan untuk mengumandangkan adzan di telinga kanan bayi yang baru dilahirkan dan mengumandangkan iqamah di telinga kirinya.

ﻭَﻳُﺴَﻦُّ ﺃَﻥْ ﻳُﺆْﺫَﻥَ ﻓِﻲْ ﺃُﺫُﻥِ ﺍﻟْﻤَﻮْﻟُﻮْﺩِ ﺍﻟْﻴُﻤْﻨَﻰ ﻭَﻳُﻘِﻴْﻢَ ﻓِﻲْ ﺃُﺫُﻧِﻪِ ﺍﻟْﻴُﺴْﺮَﻯ

Dan -disunnahkan- mengerjakan hanak (mencetaki : jawa) bayi yang dilahirkan dengan memakai kurma kering. Maka seseorang menguyah kurma dan mengoleskannya pada langit-langit unsur dalam mulut si bayi supaya ada beberapa dari kurma itu yang masuk ke dalam perutnya.

ﻭَﺃَﻥْ ﻳُﺤْﻨَﻚَ ﺍﻟْﻤَﻮْﻟُﻮْﺩُ ﺑِﺘَﻤْﺮٍ ﻓَﻴُﻤْﻀَﻊُ ﻭَﻳُﺪْﻟَﻚُ ﺑِﻪِ ﺣَﻨَﻜُﻪُ ﺩَﺍﺧِﻞَ ﻓَﻤِّﻪِ ﻟِﻴَﻨْﺰِﻝَ ﻣِﻨْﻪُ ﺷَﻴْﺊٌ ﺇِﻟَﻰ ﺟَﻮْﻓِﻪِ

Kemudian, andai tidak mengejar kurma kering, maka dengan memakai kurma basah, dan andai tidak ada, maka memakai sesuatu yang manis.

ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳُﻮْﺟَﺪْ ﺗَﻤْﺮٌ ﻓَﺮُﻃَﺐٌ ﻭَﺇِﻟَّﺎ ﻓَﺸَﻴْﺊٌ ﺣُﻠْﻮٌ

Dan -disunnahkan-memberi nama si bayi pada hari ketujuh kelahirannya.

ﻭَﺃَﻥْ ﻳُﺴَﻤَّﻰ ﺍﻟْﻤَﻮْﻟُﻮْﺩُ ﻳَﻮْﻡَ ﺳَﺎﺑِﻊِ ﻭِﻟَﺎﺩَﺗِﻪِ

Dan diizinkan memberi nama si bayi sebelum atau sesudah hari ke tujuh.

ﻭَﺗَﺠُﻮْﺯُ ﺗَﺴْﻤِﻴَّﺘُﻪُ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟﺴَّﺎﺑِﻊِ ﻭَﺑَﻌْﺪَﻩُ

Seandainya si bayi meninggal dunia sebelum hari ke tujuh, maka disunnah-kan untuk memberi nama padanya.

ﻭَﻟَﻮْ ﻣَﺎﺕَ ﺍﻟْﻤَﻮْﻟُﻮْﺩُ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟﺴَّﺎﺑِﻊِ ﺳُﻦَّ ﺗَﺴْﻤِﻴَّﺘُﻪُ

siapakah Imam al-Syafi’i, itu ? dan pendiri Mazhab Syafi’i?

Sebagai muslim Indonesia, pasti mayoritas anda tidak asing dengan Imam al-Syafi’i. Ia adalah pendiri Mazhab Syafii. Mazhab ini cukup tidak sedikit dianut di Indonesia, bahkan dapat dibilang beberapa besar di Indonesia.

Nama menyeluruh pendiri mazhab ini ialah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib. Nama terakhir ialah kakek dari Rasulullah.

Imam Syafii bermunculan dari rahim seorang ibu yang salehah, serta dari ayah yang familiar kesabaran dan keikhlasannya. Bahkan Syafi’ bin Saib, kakek buyutnya, adalahsahabat Rasulullah SAW. Nama al-Syafi’i, yang sering kita dengar kita, dipungut dari nama kakek buyutnya tersebut. Sedangkan ibunya adalahperempuan keturunan Ali bin Abi Thalib RA dari jalur Sayyidina Husein RA.

biografi keluarganya imam aysfi’i

Idris, ayah Imam al-Syafi’i ialah seorang pemuda asal Makkah yang merantau ke Gaza, Palestina. Di Gaza ia bertemu dengan Fatimah binti Ubadillah, seorang wanita salehah dari kaum Azdi. Idris menikah dengan Fatimah binti Ubaidillah, dengan tanpa sengaja. Pasalnya, saat tersebut Idris sedang dihukum ayah Fatimah sebab tidak sengaja memakan buah delima kepunyaan ayah Fatimah yang hanyut di sungai.

Harapannya, kelak, supaya ayah Fatimah inginkan mengikhlaskan buah tersebut, Idris rela menjadi buruh ayah Fatimah hingga sejumlah tahun tanpa digaji. Keikhlasan Idris berikut yang menciptakan ayah Fatimah menjatuhkan opsi kepadanya sebagai menantu.

Buah cinta dari dua-duanya lahir pada tahun 150 H. Saat itu, bertepatan dengan wafatnya dua ulama besar: Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, pendiri Mazhab Hanafi yang wafat di Irak dan Imam Ibn Jureij al-Makky, seorang mufti Hijaz yang wafat di Makkah. Hal ini dinamakan sebagai salah satu tanda-tanda bahwa bayi yang lahir itu akan menggantikan dua ulama yang sudah meninggal, baik dalam keilmuan dan kesalehan.

Kehidupan bahagia Idris, Fatimah dan jabang bayi tidak berlangsung bahagia. Idris, ayah Imam al-Syafi’i meninggal dunia dalam umur yang relatif muda. Fatimah mesti berusaha sendiri merawat buah hati dalam situasi ekonomi yang lumayan memprihatinkan.

Sadar dengan situasi dirinya ketika itu, Fatimah lantas membawa bayinya yang masih berumur dua tahun ke Makkah, kota asal ayahnya. Ia hendak putra semata wayangnya tumbuh besar di tanah kelahiran ayahnya.

Minat Keilmuan Imam al-Syafi’i: dari Sastra, Fikih sampai Hadis.

Jika keilmuan yang berkembang di Irak ialah filsafat dan mencetuskan para figur yang beraliran rasionalis laksana Abu Hanifah, lain halnya dengan Makkah, lokasi Imam al-Syafii tumbuh remaja. Di Makkah malah sedang berkembang ilmu kesusasteraan. Bahkan Makkah menjadi di antara tujuan favorit untuk para penuntut ilmu sastra Arab.

Tinggal di lingkungan yang dihuni semua ulama sastra, tidak disia-siakan oleh Imam al-Syafii. Ia paling menggandrungi prosa dan syair-syair Arab klasik. Masa mudanya di Makkah ia habiskan untuk menggali naskah-naskah sastra, berkeliling ke kabilah-kabilah badui padang pasir, laksana kabilah Hudzel (salah satu kabilah yang familiar sebagai berpengalaman sastra) guna belajar sastra. Bahkan ia rela menetap sejumlah hari di kabilah-kabilah itu demi mempelajari sastra Arab.

Hobinya belajar sastra Arab ini secara tidak langsung mempermudah ia mengetahui Alquran dan hadis. Kedua urusan ini urgen sekali dalam proses berijtihad dan mencari hukum syariat. Karena mengetahui Alquran maupun hadis diperlukan kepiawaian dalam mengetahui Alquran yang diturunkan dalam bahasa Arab yang lancar dan murni.

kepandaian imam syafi’i dalam bersastra

Kepiawaian al-Syafii dalam bidang sastra ini kesudahannya menjadikannya mahir dalam menggubah syair-syair Arab. Syair-syair karya Imam al-Syafii itu kemudian dikoleksi oleh Syekh Yusuf Muhammad al-Biqa’i dan jadilah kitab kecil berjudul Diwan al-Syafi’i yang memuat selama 150an syair karya imam syafi’i yang terserak dalam karya-karyanya.

Berdasarkan keterangan dari al-Hamawi dalam Irsyad al-Arib fi Ma’rifah al-Adib, ketertarikan Imam al-Syafii terhadap sastra Arab nyatanya melulu menjadikannya bersyair dan bernyanyi sehari-harinya. Hingga pada sebuah hari ia bertemu dengan Mus’ab bin Abdullah bin Zubair dan menganjurkannya guna belajar fikih dan hadis.

perintah belajar fiqih imam syafi’i

Tidak melulu Mus’ab, Imam Muslim bin Khalid, guru imam syafi’i yang lain pun menganjurkannya guna belajar fikih.

“Alangkah baiknya andai kecerdasanmu itu dipakai untuk mempelajari ilmu fikih, urusan ini lebih baik bagimu,” nasihat Imam Muslim bin Khalid untuk Imam al-Syafi’i.

hijrahnya imam as syafii adalah demi ilmu

Ucapan tersebut dinyatakan sendiri oleh imam syafi’i sebagai pelecut semangatnya guna belajar ilmu fikih dan hadis. Ia juga belajar untuk dua ulama besar Makkah ketika itu: Imam Sufyan bin Uyainah, pakar hadis dan Muslim bin Khalid al-Zanji, pakar fikih Mekkah.

Hijrah yang dimaksud dalam urusan ini bukan hijrah dalam makna tobat, sebagaimana yang sering dipakai saat ini. Hijrah dalam urusan ini ialah berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain. Sebagaimana hijrahnya nabi dari Makkah ke Yatsrib, Madinah.

Di samping hijrah ke Madinah pada tahun 170 H guna belajar langsung untuk Imam Dar al-Hijrah, yaitu Imam Malik bin Anas, imam syafi’i juga berangjangsana ke Irak dan Kufah guna belajar untuk murid-murid Imam Abu Hanifah, sebelum kesudahannya kembali lagi ke Madinah mendampingi Imam Malik sampai wafat pada tahun 179 H.

Bahkan Imam al-Syafi’i terhitung berangjangsana ke Irak sejumlah tiga kali. Di samping Irak, Ia pun pernah berangjangsana ke Persia, Turki dan Ramlah (Palestina), sampai akhirnya menetap dan wafat di Mesir.

Kesempatan Imam al-Syafii untuk berangjangsana ke sekian banyak  kota ini tak ayal membantunya mengetahui kebiasaan serta adat istiadat yang berlaku di kota-kota tersebut. Hal ini secara tidak langsung menjadi referensi Imam al-Syafii untuk membina fatwa-fatwa dalam mazhabnya kelak.

Kegemaran Imam al-Syafi’i dalam berhijrah dari kota ke kota ini didokumentasikannya dalam sejumlah bait syair mengenai anjuran guna berhijrah, di antaranya:

“Musafirlah! Engkau akan mengejar sahabat baru pengganti sahabat-sahabat lama yang anda tinggalkan. Dan bekerjalah yang giat! Karena kesenangan hidup akan terjangkau dengan bekerja keras.”

“Singa andai tidak terbit dari sarangnya, ia tidak bakal mendapatkan makanan. Begitu pun dengan anak panah, andai tidak meluncur dari busurnya, anak panah itu tidak akan tentang sasaran.”

Rangkaian hijrah Imam al-Syafii itu menghasilkan ‘permata’ yang tidak ternilai harganya. Berdasarkan keterangan dari Syekh Ali Jum’ah, Imam al-Syafii mencatat lebih dari 30 karya monumental. Sayangnya, tidak semuanya hingga di tangan kita. Beberapa buku hilang dan sejumlah kitab masih dalam proses pengetikan dan pentahqiqan (koreksi).

Salah satu karya hebatnya ialah kitab al-Risalah, yang disinggung sebagai buku ushul fikih kesatu yang ditulis secara sistematis. Berkat al-Risalah juga, Imam al-Syafi’i dijuluki sebagai Nasir al-Sunnah (pembela sunnah).

Imam al-Syafi’i menguras waktunya untuk mengajar di Mesir. Berdasarkan keterangan dari al-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala’ dengan mengutip kaul al-Rabi’ bin Sulaiman, Imam al-Syafii membagi malamnya menjadi tiga: sepertiga kesatu dipakai untuk menulis, sepertiga kedua dipakai untuk shalat malam, dan sepertiga terakhir dipakai untuk tidur. Imam al-Syafii wafat pada 30 Rajab 204 H.