Menurut keterangan yang paling shahih, bahwa hukum aqiqah itu hanyalah sunnah. Maka apabila dapat mengikuti ketentuan sunnah aqiqah hari ketujuh itu adalah lebih baik.
Namun andaikata terpaksa, dan tidak dapat melaksanakannya karena tidak ada kelapangan rezeki dan lainnya, maka tidak ada dosa atau tuntutan apapun atasnya. Tidak boleh memaksakan diri dalam hal agama apabila tidak ada kemampuan. Selain itu yang harus diperhatikan adalah caranya, waktunya dan niatnya, apakah sudah sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘Alaihi Wa sallam.
Dalil melakukan aqiqah adalah sunnah, berdasarkan hadits berikut:
Telah berkata ‘Amr ibnu al Ash bahwa nabi pernah bersabda :”Barangsiapa suka akan mengaqiqahkan anaknya, maka kerjakanlah.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasa’i dan Mundziri)
Adapun sunnahnya aqiqah adalah pada hari ke tujuh dari hari lahir anak tersebut, berdasarkan riwayat ini:Telah berkata ‘Aisyah : Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam itu pernah mengaqiqahkan untuk Hasan dan Husin pada hari ke tujuhnya…(HR. Ibnu Hibban, Hakim, dan Baihaqi)
Telah berkata Samurah : Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda : “Tiap-tiap anak itu tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih untuk dia pada hari ketujuhnya, dan dihari itu ia diberi nama dan dicukur rambut kepalanya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah, Baihaqi dan Hakim)
Dengan keterangan dua hadits di atas tersebut, nyatalah bahwa menurut sunnah nabi, aqiqah itu pada hari ke tujuhnya. Dan jika aqiqah itu dilakukan pada sebelum hari ke tujuhnya atau pada hari sesudahnya, apalagi setelah bertahun-tahun sesudahnya, maka itu tidak secara sunnah.
Telah berkata Abu Buraidah : Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda :
“Aqiqah itu disembelih pada hari ke tujuhnya, atau ke empat belasnya, atau ke dua puluh satunya. (HR. Baihaqi dan Thabrani)
Telah berkata Anas : Bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam itu pernah mengaqiqahkan untuk dirinya setelah menjadi Rasul. (HR. Baihaqi, Bazzar, Muhammad bin Abdul Malik bin Aiman, Thabrani dan Khallal)
Kedua hadits ini seringkali dibuat dalil oleh sebagian ulama atas sunnahnya aqiqah pada selain hari ke tujuhnya.
Telah berkata Abu Buraidah : Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda : “Aqiqah itu disembelih pada hari ke tujuhnya, atau ke empat belasnya, atau ke dua puluh satunya. (HR. Baihaqi dan Thabrani). Dalam isnad hadits ini terdapat seorang yang bernama ISMAIL BIN MUSLIM, sedang dia itu telah dilemahkan oleh para imam, seperti Imam Ahmad, Abu Zar’ah dan Nasa’i.Telah berkata Anas : Bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam itu pernah mengaqiqahkan untuk dirinya setelah menjadi Rasul. (HR. Baihaqi, Bazzar, Muhammad bin Abdul Malik bin Aiman, Thabrani dan Khallal). Dalam isnad hadits ini terdapat nama ABDULLAH BIN MUHARRAR, dia itu telah dilemahkan oleh para imam, seperti Imam Ahmad, Imam Jauzjani, Daruquthni, Ibnu Hibban, Ibnu Ma’in. Demikian juga hadits yang senada yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Syaikh terdapat pada isnadnya tiga orang yang lemah : 1. ISMAIL BIN MUSLIM, 2. DAWUD IBNU MUHABBAR, 3. ABDULLAH IBNU MATSNA.
Kemudian perhatikan redaksi (matan) hadits ini :
“Tiap-tiap anak itu TERGADAI dengan aqiqahnya yang disembelih untuk dia pada hari ketujuhnya, dan dihari itu ia diberi nama dan dicukur rambut kepalanya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah, Baihaqi dan Hakim)
Sumber Bacaan :
https://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/2010/06/aqiqah-sesuai-sunnah-dilaksanakan-pada.html